Kita sering dengar kata ini "Apalah arti sebuah nama ?". Kata yang membuat telinga ini menjerit kesakitan akibat perulangan ataupun mulut yang enggan mengucapkannya lagi. Di pandanganku, William Shakespeare salah besar.Kesalahanya mendekati limit tak hingga. Aku tak peduli tentangnya walaupun tersemat penyair terbaik dunia seklipun. Coba bayangkan seluruh mahluk di bumi ini tidak mempunyai nama ? Apa yang terjadi ? Ayo bangkitkan imajinasimu, bangunkan dari tidur panjang. Apakah anda akan memangilnya dengan penamaan al-jabar ataupun hal bodoh lainnya ? Saya yakin anda bisa memikirkanya lebih yang dari saya pikirkan.
Lae ? Mungkin dari kita sebahagian ada yang tau. Lae adalah sebutan untuk pemuda suku batak yang akrab dengan kita. Aku bukannya berasal dari suku Batak melainkan suku Melayu pesisir sekitar Batubara, Sumatera Utara. Mungkin beberapa pertayaan sudah terpikirkan dan menghiasi di benak anda sekarang.Aku mempunyai ketertarikan dengan budaya Batak itu sendiri. Tidak ada salahnya kalau saya sedikit membahas budaya lain, benar atau tidak ? Cukup sudah tentang lae saat ini. Aku akan melanjutkan cerita ke sekuel selanjutnya. Dimana nama lae itu tersemat kepadaku sampai sekarang.
Jujur saja, aku ditempa dengan lingkungan baja. Kehidupan yangt idak mengenal kata gagal ataupun putus asa. Dalam pemikiran sederhanaku, gagal adalah haram. Hanya semangat yang dapat membuat kehidupan takluk padamu. Semangat juang untuk mengemas mimpi menjadi kenyataan adalah bumbunya.
Masa kecilku kuhabiskan di suatu desa terpencil. Tempat suci itu adalah desa Sei Bejangkar, Batubara. Desa yang hingga kini keasriannya masih terjaga dari tangan-tangan setan yang terkutuk. Tempat yang kini harus kutinggalkan karena mimpi sederahana yaitu menggengam matahari.
Di saat umur menginjakkan di lima tahun aku sudah harus mengejar mimpi itu. Aku beserta keluarga kecilku pindah ke Lubukpakam, ibukota Deli Serdang. Di tempat baru inilah petualangku di mulai. Aku merasa sedikit aneh, keakraban yang menyatuan kami bukannya ikatan darah ataupun lainnya. Kehidupan yang asik dan real yang bisa kuterima dengan logika pendekku.
Aku mulai merasakan keakraban dengan sangat nyaman. Diperlakukan seperti halnya kain sutra ataupun beludru yang empuk. Efeknya aku memiliki induk semang yang mengangkatku di saat kehidupan baruku memasuki episode delapan tahun. Aku pun langsung tinggal dengan keluarga angkatku. Hal ini didorong karena kelahiran adikku yang pertama. Bukannya aku ditelantarkan, tetapi karena faktor ekonomi dan suatu aturan konyol " Jika dalam suatu keluarga mempunyai anak lelaki dua, makanya diantara mereka harus dipisahkan karena mereka menanam bibit perpecahan dalam keluarga itu". Aku sebagai anak pertama yang harus menjalani aturan konyol ini.
Disaat seseorang yang tumbuh menuju ke masa depan hidupnya dengan kasih sayang orang tua. Aku sudah harus dilepas saat berumur sewindu. Tinggal dengan orang tua angkat tidak kusesali ataupun kutangisi. Sampai saat ini aku masih sering menagis ketika melihat seorang anak mendapatkan kasih sayang utuh dari orangtuanya. Satu pukulan keras menampar tepat di pipiku.
Bersama induk semangku, aku mulai menata fondasi hidup baru. Jauh dari tanah dimana aku dilahirkan dan terpisah dengan kedua orangtuaku karena aturan konyol. Kasih sayang yang kudapat hanya dari angan malam dan air mata yang berurai serta jutaan elektron semangat yang membuncah didadaku.
Jalan. K.H Ahmad Dahlan Gg. Simpatik No 57
Bermain lepas tanpa memikirkan masa depan. Berbuat gila sepuasnya. Hariku kini telah berubah. Aku pun sering mengunjungi orang tuaku sangat di akhir pekan ataupun hari libur. Kini aku terdampar di suatu distrik perkotaan yang kumuh. Bersama induk semangku yang kini akrab kupanggil dengan sebutan "Mak Ida" beserta dengan kedua anaknya. Induk semangku sendiri sudah janda dan hanya kerja sebagai buruh lepas.
Mimpi yang kurajut dengan keringat dan tantangan. Hanya angin yang menemani beserta doa dari orang yang mencintaiku. Apa ? Orang yang mencintaiku ? Apakah ada ? Beberapa bullir pertayaan itu sirna seketika ketika hati kecilku berkata " Jangan pikirkan seberapa banyak orang yang mencintaimu, tapi kau harus berpikir cintailah sebanyaknya orang yang kenal". Bagaimana menurutmu kawan ? Aku yakin kalian mempunyai pandangan yang berbeda dengan sedikit pemikiran ini.
Saatnya aku berlari. Mengejar mimpi. Aku yakin seseorang yang sukses dibentuk dari tantangan dan air mata serta keberanian. Dan saat ini, aku masih seorang penakut. karena hanya orang penakutlah yang akan menjadi pemberani. Perjalanan kedepanlah yang menentukan jadi apa aku ini nantinya.
Jujur saja, aku ditempa dengan lingkungan baja. Kehidupan yangt idak mengenal kata gagal ataupun putus asa. Dalam pemikiran sederhanaku, gagal adalah haram. Hanya semangat yang dapat membuat kehidupan takluk padamu. Semangat juang untuk mengemas mimpi menjadi kenyataan adalah bumbunya.
Masa kecilku kuhabiskan di suatu desa terpencil. Tempat suci itu adalah desa Sei Bejangkar, Batubara. Desa yang hingga kini keasriannya masih terjaga dari tangan-tangan setan yang terkutuk. Tempat yang kini harus kutinggalkan karena mimpi sederahana yaitu menggengam matahari.
Di saat umur menginjakkan di lima tahun aku sudah harus mengejar mimpi itu. Aku beserta keluarga kecilku pindah ke Lubukpakam, ibukota Deli Serdang. Di tempat baru inilah petualangku di mulai. Aku merasa sedikit aneh, keakraban yang menyatuan kami bukannya ikatan darah ataupun lainnya. Kehidupan yang asik dan real yang bisa kuterima dengan logika pendekku.
Aku mulai merasakan keakraban dengan sangat nyaman. Diperlakukan seperti halnya kain sutra ataupun beludru yang empuk. Efeknya aku memiliki induk semang yang mengangkatku di saat kehidupan baruku memasuki episode delapan tahun. Aku pun langsung tinggal dengan keluarga angkatku. Hal ini didorong karena kelahiran adikku yang pertama. Bukannya aku ditelantarkan, tetapi karena faktor ekonomi dan suatu aturan konyol " Jika dalam suatu keluarga mempunyai anak lelaki dua, makanya diantara mereka harus dipisahkan karena mereka menanam bibit perpecahan dalam keluarga itu". Aku sebagai anak pertama yang harus menjalani aturan konyol ini.
Disaat seseorang yang tumbuh menuju ke masa depan hidupnya dengan kasih sayang orang tua. Aku sudah harus dilepas saat berumur sewindu. Tinggal dengan orang tua angkat tidak kusesali ataupun kutangisi. Sampai saat ini aku masih sering menagis ketika melihat seorang anak mendapatkan kasih sayang utuh dari orangtuanya. Satu pukulan keras menampar tepat di pipiku.
Bersama induk semangku, aku mulai menata fondasi hidup baru. Jauh dari tanah dimana aku dilahirkan dan terpisah dengan kedua orangtuaku karena aturan konyol. Kasih sayang yang kudapat hanya dari angan malam dan air mata yang berurai serta jutaan elektron semangat yang membuncah didadaku.
Jalan. K.H Ahmad Dahlan Gg. Simpatik No 57
Bermain lepas tanpa memikirkan masa depan. Berbuat gila sepuasnya. Hariku kini telah berubah. Aku pun sering mengunjungi orang tuaku sangat di akhir pekan ataupun hari libur. Kini aku terdampar di suatu distrik perkotaan yang kumuh. Bersama induk semangku yang kini akrab kupanggil dengan sebutan "Mak Ida" beserta dengan kedua anaknya. Induk semangku sendiri sudah janda dan hanya kerja sebagai buruh lepas.
Mimpi yang kurajut dengan keringat dan tantangan. Hanya angin yang menemani beserta doa dari orang yang mencintaiku. Apa ? Orang yang mencintaiku ? Apakah ada ? Beberapa bullir pertayaan itu sirna seketika ketika hati kecilku berkata " Jangan pikirkan seberapa banyak orang yang mencintaimu, tapi kau harus berpikir cintailah sebanyaknya orang yang kenal". Bagaimana menurutmu kawan ? Aku yakin kalian mempunyai pandangan yang berbeda dengan sedikit pemikiran ini.
Saatnya aku berlari. Mengejar mimpi. Aku yakin seseorang yang sukses dibentuk dari tantangan dan air mata serta keberanian. Dan saat ini, aku masih seorang penakut. karena hanya orang penakutlah yang akan menjadi pemberani. Perjalanan kedepanlah yang menentukan jadi apa aku ini nantinya.
No comments:
Post a Comment